Sabtu, 26 Juli 2008

POLITIK KAUM MUDA DAN IDEOLOGI NASIONAL

Artikel ini pernah dimuat di Jurnal KATALIS:
Tradisi Oposisi, Tanggung Jawab Kaum Muda dalam Menyongsong Perubahan Nasional dalam Visi Ideologi Nasional
Budiman Sudjatmiko *

Meski Indonesia merupakan negeri tropis yang akrab dengan matahari, Indonesia bukanlah matahari itu sendiri. Setidaknya, berbeda dengan matahari yang pada saatnya harus terbenam, Indonesia bisa memilih untuk tidak terbenam. Satu bagian kendali untuk tidak menjadikan Indonesia terbenam adalah ada pada diri saya dan pada para penulis lain di Jurnal KATALIS ini, sementara bagian-bagian kendali lain ada pada sidang pembaca semua. Yang bisa kita lakukan adalah terus bergilir berjaga untuk Indonesia.

Tradisi Oposisi dan Penyelamatan Ideologi Nasional
Kepada saya disodorkan tema mengenai �Tradisi Oposisi, Tanggung Jawab Kaum Muda dalam Menyongsong Perubahan Nasional dalam Visi Ideologi Nasional�. Karena yang dimaksud dengan istilah �Ideologi Nasional� ini adalah Pancasila, maka beberapa catatan mesti ditambahkan sebagai pendahuluan. Ini mengingat bahwa Pancasila telah jadi korban penyanderaaan berlarut-larut oleh Orde Baru sebagai pembenar otoritarianisme-nya. Karenanya, menambahkan kata �Kaum Muda� dan �Tradisi Oposisi� dalam kerangka �Ideologi Nasional� (yang oleh Orde Baru yang tua dan otoriter sering diseberangkan dengan �kaum muda� dan �tradisi oposisi�), menuntut pembersihan kaca buram sejarah.
Sekian lama Orde Baru mengawal eksistensi kuasanya, telah mencerabut kelima sila dari Pancasila kian jauh dari tujuan nasional yang terkandung dalam semesta Pembukaan UUD 1945. Alih-alih untuk �melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia�, Pancasila ditelikung menjadi alat penggada �penyisih sebagian elemen bangsa Indonesia dan menjadi penumpah darah banyak elemen bangsa Indonesia yang lain�. Inilah warisan otoritarianisme Orba yang tua dan anti oposisi, mengatasnamakan Pancasila. Karenanya, menjadi muda dan oposisi didakwa berseberangan dengan visi Ideologi Pancasila. Tentu ini satu dakwaan yang sebagian tugas untuk menyangkalnya saya akan bebankan pada tulisan ini.
Sebagaimana matahari mau tak mau harus terbenam namun kita bisa memilih menyelamatkan Indonesia untuk tidak terbenam, maka sesungguhnya sepuluh tahun yang lalu sebagian kaum muda dan yang beroposisi telah memilih membenamkan Orde Baru dan menyelamatkan Pancasila untuk kembali �melindungi segenap bangsa Indonesia�. Karena memang ada garis demarkasi yang jelas antara kediktatoran yang korup dengan Pancasila sebagai jiwa bangsa.
Kita diberitahu oleh pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai Hari Lahirnya Pancasila, bahwa Pancasila merupakan:

Philosofische Grondslag
Fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi;

Weltanschauung
Dasar berjuang mendirikan nationale staat untuk mewujudkan apa yang kemudian oleh Pembukaan UUD 1945 disebut sebagai �untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial�; di mana kesemuanya itu dicapai dalam keadaaan Merdeka;

Merdeka
Yakni merdeka sebagai political independence, politieke onafhankelijkheid yang merupakan Jembatan Emas menuju masyarakat adil dan makmur.

Berkaca dari cermin sejarah yang sudah dibersihkan ini, maka tak ada keraguan bahwa tiap-tiap pemerintahan yang didirikan di atas Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, maka tujuannya adalah untuk mewujudkan tujuan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 tersebut.

Ketika pemerintah Orde Baru menjalankan pemerintahan dengan cara yang diametral melawan tujuan nasional tersebut, maka kekuatan oposisi dengan cara extra-parlementarian telah menurunkannya. Dari sini satu berkas terang telah menjadikan duduk perkaranya lebih terlihat bahwa oposisi secara alamiah tak terhindar hadir untuk menyelamatkan esensi Pembukaan UUD 1945 dari manipulasinya. Tak ada liberalisme di sini, tapi oposisi yang patriotik lah yang kerap hadir di Indonesia.
Bagian-bagian berikut dalam tulisan ini merupakan uraian dan argumentasi saya.

Otoriterisme Berkedok Pancasila
Agar sub-judul ini bisa dipertanggungjawabkan, saya akan mulai mengurai agak panjang lebar asal-usul otoriterisme (the genesis of authoritarianism) di Indonesia.
Krisis perang dingin dalam politik internasional� berimplikasi pada� titik balik bangunan demokrasi nasional khususnya di Indonesia. Hal ini juga melibatkan pada umumnya negara-negara poskolonial anggota gerakan Non-Blok, yang tidak pro pada Barat maupun Rusia, namun memiliki identitas sosialisme tersendiri.�
Pada selanjutnya, adalah Orde Baru (Soeharto) telah membelokkan arah strategis nasional bangsa Indonesia pada masa itu. Program-program ekonomi kerakyatan, yang oleh Bung Karno disebut sebagai Sosialisme Indonesia, telah berubah menjadi arah pembangunan yang bercorak konservatif kanan. Pancasila sebagai basis ideologi dan budaya telah didaur ulang dan memiliki tafsir anyar versi Orde Baru. Kemandirian Ekonomi yang menjadi karakter bangsa telah ditabrak secara membabi buta dengan liberalisasi ekonomi. Industri nasional yang menjadi basis kemandirian digerus dengan penetrasi modal asing yang dalam bahasa Bung Karno diistilahkan dengan NEKOLIM.
Dalam konteks itu, arahan utama kebijakan pembangunan yang dilakukan Orde Baru bisa ditebak. Bagaimana pun, Orde Baru bukanlah rejim yang otonom dalam arti yang sesungguhnya. Rejim ini sangat bergantung pada dukungan kapitalisme internasional. Dukungan ini merupakan kekuatan pokok yang memimpin dalam setiap format kebijakan pemerintahannya. Dengan begitu, dukungan rakyat dalam arti yang rasional memang relatif tidak diperlukan. Yang dibutuhkan Orde Baru dari rakyatnya hanyalah kepatuhan untuk diperintah dan dimobilisasi tenaganya.

Taktik Orde Baru dalam mendorong tumbuhnya kantung-kantung sistem pasar modern dan membiarkan perkembangan pasar tradisional�meski tetap digerogoti oleh komoditas pasar modern�sebenarnya merupakan upayanya untuk mendorong pertumbuhan sekaligus mengatasi dampak negatif dari pertumbuhan tersebut. Orde Baru pun mengetahui akibatnya yaitu meluasnya kemiskinan di kalangan rakyat. Taktik untuk menyisihkan sisa dari pertumbuhan ekonomi kemudian berhasil dijalankan dengan memanfaatkan naiknya harga minyak pad dasawarsa 1970-an. Hal ini cukup efektif dalam mengendalikan gelombang naik amuk massa di kalangan orang-orang miskin. Sebab subsistensi pelaku pasar tardisional tetap memberi kesempatan bertahan bagi mereka yang tersingkir dari pasar modern.
Piranti yang secara material bekerja memproduksi kondisi itu adalah sistem politik negara otoriter birokratik. Sistem ini adalah suatu hasil penyesuaian kapitalisme terhadap budaya patrimonial (budaya hamba) yang masih melekat dalam sistem politik Indonesia. Birokrasi disederhanakan dengan mengikis potensi-potensi inefektifitas yang melekat di dalamnya. Struktur birokrasi tidak lagi dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai kekuatan politik, melainkan dilihat dari fungsinya dalam proses pemupukan modal dalam skala nasional. Dengan menggunakan prinsip-prinsip militerisme, pilar tegak yang menjadi penopang utama birokrasi adalah kesatuan loyalitas. Untuk mendukung proses tersebut, Orde Baru juga melakukan penataan sistem kepartaian, komposisi lembaga legislatif, dan mekanisme pengangkatan pejabat yudikatif harus melewati mesin birokrasi seperti Litsus (penelitian khusus). Dengan begitu, lembaga-lembaga negara disatukan dalam satu struktur kepentingan
yang utuh.
Untuk memantapkan kekuasaannya, Orde Baru melengkapi perangkat kenegaraannya dengan menciptakan organisasi massa yang diintegrasikan secara relatif dengan badan-badan dalam struktur birokrasi (baik sipil maupun militer). Dengan cara itu, Orde Baru bukan hanya memiliki perangkat mobilisasi massa yang efektif melainkan juga memiliki perangkat yang mampu menangkal potensi-potensi kritis yang bisa melemahkan argumentasi kekuasaan. Konsep ini yang kita kenal dengan istilah �pewadahtunggalan organisasi massa�.

Kemunculan Orde Baru dalam puncak kepemimpinan nasional di Indonesia memang diuntungkan oleh situasi perang dingin terutama berkaitan dengan memanasnya situasi Asia Tenggara akibat perang Vietnam. Kondisi ini yang mendorong rejim modal internasional untuk mengkonsolidasikan negara-negara Asia Tenggara dalam sebuah forum yang dipersatukan oleh kesepakatan untuk berkompromi dengan pasar. Kondisi tersebut dicirikan dengan terbentuknya Association of South East Asian Nations (ASEAN) tahun 1967 dan Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI).
Di dalam ASEAN, Indonesia bergabung dengan negara-negara Asia Tenggara yang relatif condong berpihak ke barat. Hal ini yang memberi tafsiran bahwa ASEAN sebenarnya lahir dari dinamika perang dingin, sebagai antisipasi Amerika Serikat terhadap gelombang komunisme yang melanda Asia Tenggara pada masa itu. Di dalam IGGI, forum multilateral yang berisi negara-negara kaya dan lembaga-lembaga pemberi donor itu, Indonesia diposisikan sebagai klien dari negara-negara pemberi donor.
Efek dari keberadaan forum-forum itu memberi kepercayaan diri pada Orde Baru untuk menjalankan program-program ekonomi yang memenuhi kepentingan pragmatis rakyat Indonesia. Kegagalan Bung Karno untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat akibat adanya kelangkaan kebutuhan pokok yang memicu tingginya inflasi, dijadikan argumentasi utama Orde Baru dalam kampanyenya terhadap rakyat.
Berkat dukungan rejim kapitalisme internasional Bank Dunia dan IMF, Orde Baru berhasil melakukan mobilisasi tenaga kerja dan sumber daya alam Indonesia dengan tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun 8 persen. Angka rata-rata pertumbuhan ekonomi ...

0 komentar:


Blogspot Template by Isnaini Dot Com Powered by Blogger and Local Jobs